Sejarah dan Perkembangan Vaksin
Vaksin menerobos dunia modern pertama kali pada tahun 1796, ketika Edward Jenner, seorang dokter dari Inggris, meneliti seorang pekerja harian yang terkena penyakit cacar, dengan diimunisasi dengan cacar sapi ringan. Dia mengambil beberapa cairan dari luka penderita cacar sapi dan menggoreskan di permukaan lengan anak berusia 8 tahun. Empat pulah delapan (48) hari kemudian Jenner memberi nama “vaksin” (bahasa latin dari Sapi). Sejak saat itu vaksin mengalami perkembangan baik dari cara menentukan epitop imunodominan, strategi perbanyakan protein maupun cara aplikasinya.
Selanjutnya tahun 1886 Salmon dan Smith di Amerika Serikat telah memperkenalkan macam vaksin inaktif dengan menggunakan bakteri vibrio cholera yang dimatikan dengan pemanasan.
Terobosan baru lainnya datang pada akhir abad 19, ketika Louis Pasteur seorang ahli kimia dari Perancis, mengembangkan tehnik kimia untuk mengisolasi virus dan melemahkannya, yang efeknya dapat dipakai sebagai vaksin. Sebelum vaksinasi memancing kontroversi. Pasteur pertama kali mencatat, memasukkan vaksin rabies ke tubuh manusia yang mendapat protes keras oleh ahli jiwa dan masyarakat.
Upaya untuk menggalakkan imunisasi di Inggris yang menurun pada abad tersebut merupakan kenyataan pahit akibat dari penentangan/protes terhadap imunisasi. Meskipun Inggris menghadapi resiko serius terhadap penyakit Tipus yang mewabah di medan perang Boer (Afrika Selatan).
Pada perubahan jaman ini, peneliti lainnya telah mengembangkan vaksin yang tidak aktif untuk melawan Tipus, wabah Rabies dan Kolera. Pada pertengahan tahun 1920-an, vaksin telah dikembangkan untuk melawan Dipteri (penyakit yang sering menyebabakan kematian pada anak-anak) dan Pertusis.
Dua tim ahli dipimpin oleh Jonas Salk and Albert Sabin mengembangkan vaksin Polio. Vaksin untuk mencegah Polio, digunakan untuk membunuh virus, dipatenkan pada tahun 1954 dan digunakan untuk kampanye imunisasi. Kurang dari enam tahun, kasus Polio menurun 90%. Tetapi vaksin Salk tidak melengkapi imunisasi secara menyeluruh untuk semua jenis virus Polio. Pada tahun 1961, Sabin telah mengembangkan vaksin oral yang bekerja secara aktif (hidup) berupa virus yang telah dilemahkan, untuk menggantikan imunisasi dengan suntik jenis Salk di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an, vaksin digunakan secara rutin dan tidak menyebabkan kontroversi pada masyarakat dan paramedis, dan vaksin virus aktif (hidup) telah dikembangkan untuk Campak (1963), Rubella/ campak Jerman (1966) dan penyakit Gondong (1968).
Bahaya Serangan DPT (Mary H. Cooper, 1995)
Pada awal tahun 1980-an, wabah infeksi yang membunuh ratusan anak-anak tiap tahun telah mencemaskan orang tua. Sebagian kecil orang tua merasa anaknya menderita akibat vaksin yang diberikan tidak aman bagi anak mereka terutama DPT. Di antara mereka adalah anggota National Vaccine Information Center (NVIC)
Pada tahun 1982. Fisher dan para ibu menemukan kelompok pembela yang tergabung dalam NVIC dan meyakinkan kongres untuk menyediakan vaksin DPT yang aman.
Pada tahun 1991, Fisher mendokumentasikan perkembangan vaksin DPT dalam “A Shot in the Dark” (menyerang dalam kegelapan), dan menerangkan bagaimana lebih banyak racun pertusis menyebabkan banyak masalah, dan mengapa diamankan dan tidak dipasarkan secara luas di Amerika Serikat.
Tidak tahu secara pasti mengapa pemerintah Amerika Serikat menarik vaksin DPT dari pasaran pada tahun 1996 dan merekomendasikan dokter menutup vaksin jenis DTP. Hanya 6-7 persen dari vaksin pertusis di Amerika Serikat masih mengandung DPT. Tetapi itu telah digunakan secara luas di masyarakat dunia ketiga (negara berkembang).
Pada masa pemerintahan Clinton telah diijinkan untuk memperpanjang program vaksinasi untuk masyarakat miskin dan merekomendasikan ijin baru untuk memperbaiki tingkat vaksinasi. Sejak tahun 1994, program vaksinasi telah dijalankan dalam pemerintahan untuk anak-anak miskin secara Cuma-Cuma.
Vaksin
Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau “liar”. Berasal dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar.
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.).
Jenis-Jenis Vaksin :
Berdasarkan bahan imun yang digunakan ada dua jenis vaksin, yaitu:
Attenuated whole-agent vaccines
· Mempunyai kemampuan proteksi jangka panjang
· Virus yang telah dilemahkan tersebut dapat bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan dosis asli, dan berperan sebagai imunisasi ulangan.
· Keefektifan dapat mencapai 95%
· Seringkali tidak memerlukan imunisasi ulangan
· Tidak disarankan untuk pasien kompromis
· Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin demam tifoid
Vaksin hidup terbuat dari virus hidup yang diatenuasikan dengan cara pasase berseri pada biakan sel tertentu atau telur ayam berembrio. Dalam proses ini akumulasi dari mutasi umumnya menyebabkan hilangnya virulensi virus secara progresif bagi inang aslinya. Didalam vaksin mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respon imun tanpa menimbulkan sakit.
Inactivated whole-agent vaccines
· Memakai mikroba yang sudah dibunuh dengan formalin ataupun fenol
· Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan vaksin demam tifoid
Vaksin inaktif dihasilkan dengan menghancurkan infektivitasnya sedangkan imunogenitasnya masih dipertahankan dengan cara:
· Fisik misalnya dengan pemanasan, radiasi
· Chemis, dengan bahan kimia fenol, betapropiolakton, formaldehid, etilenimin.
Dengan perlakuan ini virus menjadi inaktif tetapi imunogenitasnya masih ada. Vaksin ini sangat aman karena tidak infeksius, namun diperlukan jumlah yang banyak untuk menimbulkan respon antibodi.
Vaksin sub unit
Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari komponen virus Teknik yang relatif baru dalam produksi vaksin adalah dengan melakukan kloning dari gen virus melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe.
Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dari mikroorganisme yang imunogenik secara alamiah misalnya hepatitis B, atau virus yang dipisahkan dengan detergen misalnya influensa.
Vaksin idiotipe
Vaksin idiotipe merupakan vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.
Vaksin rekombinan
Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan selain dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen dari berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi hewan dengan vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik.
Vaksin DNA
Vaksin DNA (naked plasmid DNA) , suatu pendekatan yang relatif baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon kedalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan kedalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang dikodenya. Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida yang bersifat imunostimulan yang akan menginduksi imunitas seluler .
Beberapa kelemahan vaksin DNA bahwa kemungkinan DNA dalam vektor plasmid akan berintegrasi kedalam genom host/inang, kemungkinan akan menginduksi tumor atau menginduksi terbentuknya antibodi terhadap DNA. Selain itu vaksin DNA dapat menginduksi respon imun seluler yang kuat tidak hanya terhadap antigen mikroba melainkan juga terhadap antigen inangnya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui keamanan vaksin DNA yang efektif terhadap patogen intraseluler.
Imunisasi yang Menumbuhkan Kekebalan
Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu disebut Vaksinasi. Disebut juga Imunisasi karena vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan “mengingat”-nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem kekebalan telah siap:
1. Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan
2. Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak.
Imunisasi dibedakan dalam dua jenis, imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Pada imunisasi aktif, tubuh ikut berperan dalam membentuk kekebalan (imunitas). Tubuh seseorang dirangsang untuk membangun pertahanan imunologis terhadap kontak alamiah dengan berbagai penyakit. Sedangkan dalam imunisasi pasif, tubuh tidak dengan sendirinya membentuk kekebalan, tetapi diberikan dalam bentuk antibodi dari luar.
Seseorang yang mempunyai risiko terjangkit penyakit tertentu, diberi antibodi yang spesifik. Umumnya bayi dan anak diberi imunisasi aktif karena imunisasi jenis ini memberi kekebalan yang lebih lama. Sedangkan imunisasi pasif hanya diberikan dalam keadaan sangat mendesak, yakni jika tubuh anak diduga belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit ganas, seperti tetanus.
Tapi tak jarang pula imunisasi aktif dan pasif diberikan dalam waktu bersamaan. Misalnya, seorang anak yang terserang penyakit tertentu akan memperoleh imunisasi pasif untuk segera menetralisir racun kuman yang beredar. Sedangkan imunisasi aktif diberikan juga untuk mendapatkan kekebalan setelah sembuh dari penyakit tersebut. Kedua jenis imunisasi tersebut juga berbeda dalam segi bahan bakunya. Dalam imunisasi aktif, tubuh diberi sebagian atau seluruh komponen kuman atau suatu bentuk rekayasa kuman sehingga terjadi rangsangan kekebalan tubuh (imunologik) yang menyerupai respon terhadap infeksi alamiah oleh kuman itu. Sedangkan respon dalam tubuh itu sendiri bisa berupa terbentuknya antitoksin (zat anti terhadap racun yang dibuat oleh mikroorganisme) atau bentuk lain yang efeknya menetralisir kuman.
Dalam imunisasi pasif, tubuh diberi antibodi spesifik (sudah siap pakai) yang dapat habis dalam tubuhnya. Beberapa imunisasi dapat membentuk kekebalan tubuh seumur hidup, seperti campak. Namun ada pula bentuk imunisasi yang memberikan kekebalan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Misalnya saja, DPT (difteri, pertusis, tetanus) dan polio. Efektivitas suatu imunisasi aktif dapat diukur dengan memeriksa adanya proteksi terhadap suatu penyakit yang dituju. Pemeriksaan imunoglobin sering dipakai untuk pembuktian terjadinya proteksi terhadap penyakit tertentu. Tetapi bukan merupakan jaminan mutlak, karena pada keadaan tertentu kadar imunoglobin tidak dapat digunakan sebagai patokan terjadinya proteksi.Pada dasarnya ada vaksin yang dibuat dari kuman yang dilemahkan atau dimatikan. Kuman yang dimatikan ini tidak dapat berkembang biak (replikasi) dalam tubuh manusia, sehingga untuk merangsang pembentukan antibodi diperlukan dalam jumlah banyak. Selain itu, secara berkala dibutuhkan juga pemberian vaksin ulangan untuk memperkuat antibodi.
Tujuan imunisasi:
Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya.
Manfaat Imunisasi
1. Untuk Anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk Keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
Sasaran Imunisasi
1. Bayi (0-11 bulan)
2. Ibu hamil (0-8 bulan)
3. Wanita usia subur
4. Anak SD kelas I dan VI
5. Orang yang akan bepergian ke daerah endemic penyakit
Jenis-Jenis Imunisasi
Imunisasi polio
Dosis oral : 2 tetes langsung ke dalam mulut melalui pipet atau dispenser. Harus dijaga jangan sampai vaksin dalam dropper multi dose terkontaminasi oleh air liur.
Bayi harus menerima minimal 3 dosis dengan interval minimum 4 minggu. Di daerah non endemi, dosis pertama diberikan mulai usia 6 minggu bersamaan dengan dosis pertama vaksin DTP (Difteri, Tetanus, Pertussis).
Di daerah endemi, diperlukan dosis ekstra yang diberikan segera setelah bayi dilahirkan.
Vaksin ini tetap aman dan efektif jika diberikan pada waktu yang bersamaan dengan pemberian vaksin campak, DTP, DT, Td, TT, BCG, Hepatitis B dan Yellow fever.
Stabilitas Penyimpanan :
Disimpan pada suhu 2-8°C, tidak boleh dibekukan dan terlindung dari cahaya.Bila vaksin sudah dibuka dan disimpan pada suhu 2-8°C, potensi bertahan selama 7 hari. Tidak boleh disimpan lebih dari 6 bulan. Jika disimpan pada suhu -20°C atau lebih rendah, maka potensi vaksin sampai masa daluwarsa sesuai yang tertera pada vial. Daluwarsa tergantung pada penyimpanan : suhu -20°C, daluwarsa 2 tahun; suhu 2-8°C, daluwarsa 6 bulan.
Waktu Pemberian :
1. Umur / usia 3 bulan
2. Umur / usia 4 bulan
3. Umur / usia 5 bulan
4. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
5. Umur / usia 5 tahun
Kontraindikasi :
Bayi yang mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus) : imunisasi dilakukan berdasarkan jadwal standar tertentu pada bayi pengidap virus HIV baik yang tanpa gejala maupun dengan gejala. Pasien immune deficiency : tidak ada efek berbahaya yang timbul akibat pemberian pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh. Individu dengan riwayat anafilaktik terhadap vaksin. Perlu diperhatikan adanya kemungkinan reaksi alergi terhadap anti-infeksi yang digunakan pada produksi OPV (Neomycin, Streptomycin).
Efek Samping :
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (kurang dari 0.17 : 1.000.000).
Interaksi
· Dengan Obat Lain :
Obat-obat imunosupresan (antineoplastics atau therapeutic doses of corticosteroids) menurunkan respon vaksin dan disarankan untuk menunda imunisasi. OPV dilaporkan menekan tuberculin skin sensitivity untuk sementara waktu, oleh karena itu jika diperlukan, dilakukan tuberculin tests sebelum atau secara bersamaan atau 4-6 minggu setelah pemberian vaksin. OPV dapat diberikan bersamaan dengan vaksin campak, mumps, rubella, DTP.
· Dengan Makanan : -
Pengaruh
· Terhadap Kehamilan : Meskipun belum ada penelitian yang cukup tentang efek OPV terhadap perkembangan fetus atau belum tersedia bukti-bukti mengenai efek samping OPV pada wanita hamil atau perkembangan fetus, vaksinasi selama kehamilan sebaiknya dihindari kecuali jika berisiko tinggi terpapar infeksi atau diperlukan proteksi yang segera terhadap poliomyelitis (misalnya melakukan perjalanan ke daerah endemi).
· Terhadap Ibu Menyusui : Organisme yang terdapat pada OPV melakukan multiplikasi di dalam tubuh dan beberapa mungkin ddistribusikan ke dalam ASI setelah pemberian imunisasi pada ibu menyusui. Meskipun demikian, tidak ada bukti terhadap pengaruhnya pada bayi.
· Terhadap Anak-anak : -
· Terhadap Hasil Laboratorium : -
Bentuk Sediaan : Kemasan 10 dosis dan 20 dosis, Masing-masing Dilengkapi 1 Buah Dropper
Peringatan:
OPV harus diberikan secara oral, tidak boleh diberikan secara parenteral. OPV tidak boleh diberikan pada pasien yang diare atau muntah, vaksin boleh diberikan setelah diarenya berhenti. Oleh karena OPV dieksresikan melalui feses sampai 6 bulan, higiene personal harus ditingkatkan. Vaksin poliomyelitis mungkin mengandung sejumlah kecil antibakteri seperti Neomycin, Polymyxin B dan Streptomycin. Oleh karena itu sebaiknya hati-hati digunakan pada pasien yang hipersensitif terhadap antibakteri tersebut. OPV tidak boleh diberikan kepada pasien immunocompro-mised karena berisiko tinggi terhadap terjadinya vaccine-associated paralytic poliomyelitis.Pasien asymptomatic HIV-positive dapat diberikan OPV tetapi eksresi melalui feses lebih lama dibandingkan pasien yang tidak terinfeksi. Sedangkan untuk pasien symptomatic HIV-positive diberikan inactivated poliomyelitis vaccine. Pemberian injeksi intramuskular IPV setelah OPV tidak boleh dilakukan karena berisiko tinggi terhadap terjadinya vaccine-associated paralytic poliomyelitis
Mekanisme Aksi
OPV : menstimulasi pembentukan antibodi dalam darah maupun jaringan mukosa saluran pencernaan, dengan demikian mencegah penyebaran infeksi ke sistem saraf pusat dan multiplikasi virus dalam saluran pencernaan
IPV memberikan imunitas yang sangat kecil dalam saluran pencernaan, oleh karena itu jika pasien yang mendapat imunisasi IPV terinfeksi oleh wild poliovirus, maka virus masih dapat berkembang biak dalam usus sehingga meningkatkan risiko transmisi lanjut. IPV tidak berisiko terhadap terjadinya vaccine-associated paralytic poliomyelitis.
Imunisasi BCG
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG (Bacillus Calmette-Guerin) diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis.
Cara penyimpanan Vaksin:
Yaitu pada suhu 2- 8 o C. tidak dalam keadaan beku, tidak terkena sinar matahari langsung. Exp setelah 8 jam pengenceran.
Usia Pemberian:
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG
Beberapa orang yang seharusnya tidak menerima vaksinasi BCG:
Orang dengan kekebalan yang kurang, menderita penyakit seperti cacar air pada saat ini, atau baru menerima vaksinasi hidup mis. untuk campak, mungkin dinasihat agar tidak mendapatkan BCG. Penilaian perorangan dilakukan sebelum BCG dan Anda akan diharuskan menandatangani Formulir Izin sebelum vaksinasi. Selin itu, vaksin tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux positif.
Lokasi Penyuntikan:
Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha.
Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri. Selain itu juga biasa terjadi kemerahan, abses dan scar.
Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jika bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.
Bila muncul bisul, jaga tempat vaksinasi dengan cara berikut:
· Biarkan tempat vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. Jangan menggunakan krim atau salep
· Jika perlu, pakai pembalut ayakan steril dengan longgar tetapi jangan gunakan plester yang melekat, Band-aid, kapas atau kain langsung pada tempat vaksinasi
· Jangan memukul atau menggaruk tempat vaksinasi
· Anda dapat terus melakukan kegiatan biasa seperti mandi, berenang dan melakukan olahraga.
Kontraindikasi :
· Immundefisiensi
· Gizi buruk
· Demam tinggi
· Infeksi kulit yang luas
· Riwayat TB
· Kehamilan
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus.
· Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal
· Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak.
· Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang
Waktu dan jalur pemberian:
Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).
Penyimpanan :
Pada suhu 0-8 oC
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin DPT pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster).
Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:
- Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)
- Kejang
- Kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- Syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.
Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus. Setiap orang dewasa harus mendapat vaksinasi lengkap tiga dosis seri primer dari difteri dan toksoid tetanus, dengan dua dosis diberikan paling tidak berjarak empat minggu, dan dosis ketiga diberikan enam hingga 12 bulan setelah dosis kedua. Jika orang dewasa belum pernah mendapat imunisasi tetanus dan difteri maka diberikan seri primer diikuti dosis penguat setiap 10 tahun.
Imunisasi TT
Imunisasi tetanus (TT, tetanus toksoid) memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus. ATS (Anti Tetanus Serum) juga dapat digunakan untuk pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus. Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan kekebalan penuh. Imunisasi TT yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu TT2 dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun). Tahap berikutnya adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun), kemudian TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
Imunisasi Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek). Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih.
Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
Imunisasi Hib
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b. Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat yang bisa menyebabkan anak tersedak. Sampai saat ini, imunisasi HiB belum tergolong imunisasi wajib, mengingat harganya yang cukup mahal. Tetapi dari segi manfaat, imunisasi ini cukup penting. Hemophilus influenzae merupakan penyebab terjadinya radang selaput otak (meningitis), terutama pada bayi dan anak usia muda. Penyakit ini sangat berbahaya karena seringkali meninggalkan gejala sisa yang cukup serius. Misalnya kelumpuhan. Ada 2 jenis vaksin yang beredar di Indonesia, yaitu Act Hib dan Pedvax.
Imunisasi MMR
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman dan disuntikkan sebanyak 2 kali. Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler dan mata berair. Campak juga menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian. Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkan meningitis (infeksi pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan. Campak Jerman (rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar getah bening leher. Rubella juga bisa menyebabkan pembengkakan otak atau gangguan perdarahan.
Imunisasi Varisella
Imunisasi varisella memberikan perlindungan terhadap cacar air. Cacar air ditandai dengan ruam kulit yang membentuk lepuhan, kemudian secara perlahan mengering dan membentuk keropeng yang akan mengelupas.
Imunisasi HBV
Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap hepatitis B. Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Karena itu imunisasi hepatitis B termasuk yang wajib diberikan.
Penyimpanan :
· Suhu 0-8 o C
· Waktu max 10 bulan
Usia Pemberian:
Jadwal pemberian imunisasi ini sangat fleksibel, tergantung kesepakatan dokter dan orangtua. Bayi yang baru lahir pun bisa memperolehnya. Imunisasi ini pun biasanya diulang sesuai petunjuk dokter. Orang dewasa yang berisiko tinggi terinfeksi hepatitis B adalah individu yang dalam pekerjaannya kerap terpapar darah atau produk darah, klien dan staf dari institusi pendidikan orang cacat, pasien hemodialisis (cuci darah), orang yang berencana pergi atau tinggal di suatu tempat di mana infeksi hepatitis B sering dijumpai, pengguna obat suntik, homoseksual/biseksual aktif, heteroseksual aktif dengan pasangan berganti-ganti atau baru terkena penyakit menular seksual, fasilitas penampungan korban narkoba, imigran atau pengungsi di mana endemisitas daerah asal sangat tinggi/lumayan. Berikan tiga dosis dengan jadwal 0, 1, dan 6 bulan (interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga). Bila setelah imunisasi terdapat respon yang baik maka tidak perlu dilakukan pemberian imunisasi penguat (booster).
Lokasi Penyuntikan:
Vaksin Hepatitis B harus diberikan secara intramuskular di otot deltoid pada orang dewasa. Pada orang dewasa, imunogenisitas vaksin akan berkurang bila vaksin disuntikkan pada gluteus. Panjang jarum yang digunakan sebaikya 1-1,5 inci untuk memastikan vaksin masuk ke jaringan otot.
Penyuntikan vaksin secara intradermal tidak dianjurkan karena imunogenisitas pada usia muda lebih rendah, respons antibodi yang tidak konsisten pada orang tua, kurangnya pengalaman tenaga kesehatan dalam melakukan suntikan intradermal, dan kurangnya data tentang efektivitas jangka panjang.
Vaksin Hepatitis B diberikan dalam 3 dosis pada bulan ke-0, 1, dan 6. Dua dosis pertama merupakan dosis yang penting untuk membentuk antibodi. Dosis ketiga diberikan untuk mencapai kadar antibodi anti-HBs yang tinggi.
Pemberian Imunisasi dan Dosis
Tabel 1. Rekomendasi Dosis Vaksin Hepatitis B
Keadaan | Recombivax HB (10 µg/ml) | Engerix B (20 µg/ml) |
Bayi* dan anak <> | 2,5 µg/ml | 10 µg/ml |
Anak / remaja (11-19 tahun) | 5 µg/ml | 20 µg/ml |
Dewasa (> 20 tahun) | 10 µg/ml | 20 µg/ml |
Pasien hemodialisis | 40 µg/ml (1 ml)# | 40 µg/ml (2 ml) ## |
Pasien imunokompromais | 10 µg/ml (1 ml)# | 40 µg/ml (2 ml) ## |
Jadwal yang dianjurkan bulan ke-0, 1, 6 *Bayi yang lahir dengan ibu yang HBsAg (-) # Formulasi khusus ## 2 dosis 1 ml disuntikkan di satu sisi dalam 4 dosis (bulan ke-0, 1, 2, 6) |
Tabel 2. Rekomendasi Profilaksis Hepatitis B Setelah Paparan Perkutan
Status imun pasien yang terpapar | Rekomendasi bila sumber HBsAg (+) | Rekomendasi bila sumber HBsAg (-) | Rekomendasi bila status HBsAg sumber tidak diketahui |
Belum divaksinasi
Sebelumnya sudah vaksinasi
| HBIG 0,06 mg/kg + vaksin Hepatitis B
Terapi (-) atau pertimbangkan booster
2 x HBIG atau 1 x HBIG + vaksinasi Hepatitis B
Tes anti-HBs individu yang terpapar
| Inisiasi vaksin Hepatitis B
Terapi (-)
Terapi (-) Terapi (-)
Terapi (-) | Inisiasi vaksin Hepatitis B
Terapi (-)
Bila sumber risiko tinggi: terapi seolah-olah HBsAg (+)
Tes anti-HBs individu yang terpapar
|
Efek Samping:
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari. Dapat pula terjadi demam, mual dan respon anafilkasis.
Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
Indikasi Vaksin Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi tertular Hepatitis B, diantaranya adalah:
- Pekerja di bidang kesehatan
- Petugas keamanan yang rentan terhadap paparan darah
- Pekerja di panti sosial
- Pasien hemodialisis
- Pasien yang membutuhkan transfusi darah maupun komponen darah
- Kontak atau hubungan seks dengan karier Hepatitis B atau Hepatitis B akut
- Turis yang bepergian ke daerah endemik Hepatitis B.
- Pengguna obat-obatan suntik
- Pria biseksual dan homoseksual
- Orang yang melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan
- Pasien penyakit hati kronik
- Pasien yang berpotensi menjalankan transplantasi organ.
Kontra indikasi:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat. Serta pada ibu hamil.
Imunisasi Pneumokokus Konjugata
Imunisasi pneumokokus konjugata melindungi anak terhadap sejenis bakteri yang sering menyebabkan infeksi telinga. Bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti meningitis dan bakteremia (infeksi darah).
Tipa
Imunisasi tipa diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap demam tifoid (tifus atau paratifus). Kekebalan yang didapat bisa bertahan selama 3 sampai 5 tahun. Oleh karena itu perlu diulang kembali. Imunisasi ini dapat diberikan dalam 2 jenis: imunisasi oral berupa kapsul yang diberikan selang sehari selama 3 kali. Biasanya untuk anak yang sudah dapat menelan kapsul. Sedangkan bentuk suntikan diberikan satu kali. Pada imunisasi ini tidak terdapat efek samping.
Hepatitis A
Penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan sendirinya. Tetapi bila terkena penyakit ini penyembuhannya memerlukan waktu yang lama, yaitu sekitar 1 sampai 2 bulan. Jadwal pemberian yang dianjurkan tak berbeda dengan imunisasi hepatitis B. Vaksin hepatitis A diberikan dua dosis dengan jarak enam hingga 12 bulan pada orang yang berisiko terinfeksi virus ini, seperti penyaji makanan (food handlers), mereka yang sering melakukan perjalanan atau bekerja di suatu negara yang mempunyai prevalensi tinggi hepatitis A, homoseksual, pengguna narkoba, penderita penyakit hati, individu yang bekerja dengan hewan primata terinfeksi hepatitis A atau peneliti virus hepatitis A, dan penderita dengan gangguan faktor pembekuan darah.
Kondisi yang Bukan Halangan untuk Melakukan Imunisasi:
· Gangguan saluran napas atas atau gangguan salurancerna ringan
· Riwayat efek samping imunisasi dalam keluarga.
· Riwayat kejang dalam keluarga.
· Riwayat kejang demam
· Riwayat penyakit infeksi terdahulu
· Kontak dengan penderita suatu penyakit infeksi
· Kelainan saraf menetap seperti palsi serebralsindrom Down
· Eksim dan kelainan lokal di kulit
· Penyakit kronis (jantung, paru, penyakit metabolik)
· Terapi antibiotika; terapi steroid topikal (terapi lokal, kulit, mata)
· Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir
· Berat lahir rendah
· Ibu si anak sedang hamil
· Usia anak melebihi usia rekomendasi imunisasi
Kondisi Dimana Imunisasi Tidak Dapat Diberikan atau Imunisasi Boleh Ditunda:
· Sakit berat dan akut; Demam tinggi;
· Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
· Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin hidup (Polio Oral, MMR, BCG, Cacar Air).
· Alergi terhadap telur, hindari imunisasi influenza
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan perawat :
1. Perawat harus bertanya pada orang tua anak mengenai :
· Status kesehatan anak saat ini, apakah dalam kondisi sehat atau sakit.
· Pengalaman/reaksi terhadap imunisasi yang pernah didapat sebelumnya.
· Penyakit yg dialami dimasa lalu dan sekarang.
2. Orang tua harus mengerti tentang hal-hal yg berkaitan dengan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (pengertian, jenis imunisasi, alasan imunisasi, manfaat imunisasi dan efek sampingnya).
3. Catatan imunisasi yang lalu (apabila sudah pernah mendapat imunisasi sebelumnya), pentingnya menjaga kesehatan melalui tindakan imunisasi.
4. Pelaksanaan pendidikan kesehatan (Penkes) untuk orang tua. (Gunakan pertanyaan terbuka utk mendptkan informasi seluas-luasnya).
Tanggung jawab perawat dalam pemberian vaksin sama dalam pemberian obat – obatan yang aman. Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan . Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien . Sekali obat telah diberikan , perawat bertanggung jawab pada efek obat yang diduga bakal terjadi. Buku-buku referensi obat seperti , Daftar Obat Indonesia ( DOI ) , Physicians‘ Desk Reference (PDR), dan sumber daya manusia , seperti ahli farmasi , harus dimanfaatkan perawat jika merasa tidak jelas mengenai reaksi terapeutik yang diharapkan , kontraindikasi , dosis , efek samping yang mungkin terjadi , atau reaksi yang merugikan dari pengobatan ( Kee and Hayes, 1996 ).
Enam Hal yang Benar dalam Pemberian Obat
Supaya dapat tercapainya pemberian obat yang aman , seorang perawat harus melakukan enam hal yang benar : klien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, waktu yang benar, rute yang benar, dan dokumentasi yang benar.
Pada waktu lampau, hanya ada lima hal yang benar dalam pemberian obat. Tetapi kini ada hal keenam yang dimasukkan yaitu dokumentasi. Dua hal tambahan klien juga dapat ditambahkan : hak klien untuk mengetahui alasan pemberian obat, hak klien untuk menolak penggunaan sebuah obat.
Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas klien, dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien sebelum setiap obat diberikan. Dalam keadaan dimana klien tidak memakai gelang identifikasi (sekolah, kesehatan kerja, atau klinik berobat jalan), perawat juga bertanggung jawab untuk secara tepat mengidentifikasi setiap orang pada saat memberikan pengobatan.
Obat yang benar berarti klien menerima obat yang telah diresepkan. Perintah pengobatan mungkin diresepkan oleh seorang dokter, dokter gigi, atau pemberi asuhan kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari pemerintah. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh dokter yang menelepon dalam waktu 24 jam. Komponen dari perintah pengobatan adalah : (1) tanggal dan saat perintah ditulis, (2) nama obat, (3) dosis obat, (4) rute pemberian, (5) frekuensi pemberian, dan (6) tanda tangan dokter atau pemberi asuhan kesehatan. Meskipun merupakan tanggung jawab perawat untuk mengikuti perintah yang tepat, tetapi jika salah satu komponen tidak ada atau perintah pengobatan tidak lengkap, maka obat tidak boleh diberikan dan harus segera menghubungi dokter tersebut untuk mengklarifikasinya ( Kee and Hayes, 1996 ).
Untuk menghindari kesalahan, label obat harus dibaca tiga kali : (1) pada saat melihat botol atau kemasan obat, (2) sebelum menuang / mengisap obat dan (3) setelah menuang / mengisap obat. Perawat harus ingat bahwa obat-obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip, misalnya digoksin dan digitoksin, quinidin dan quinine, Demerol dan dikumarol, dst.
Dosis yang benar adalah dosis yang diberikan untuk klien tertentu. Dalam kebanyakan kasus, dosis diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang bersangkutan. Perawat harus menghitung setiap dosis obat secara akurat, dengan mempertimbangkan variable berikut : (1) tersedianya obat dan dosis obat yang diresepkan (diminta), (2) dalam keadaan tertentu, berat badan klien juga harus dipertimbangkan, misalnya 3 mg/KgBB/hari.
Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Jika ragu-ragu, dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain.
Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d ( dua kali sehari ), t.i.d ( tiga kali sehari ), q.i.d ( empat kali sehari ), atau q6h ( setiap 6 jam ), sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t ½ ) yang panjang, maka obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu . Beberapa obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya diberikan pada saat makan atau bersama makanan ( Kee and Hayes, 1996 ; Trounce, 1997)
Implikasi dalam keperawatan mencakup :
1. Berikan obat pada saat yang khusus. Obat-obat dapat diberikan ½ jam sebelum atau sesudah waktu yang tertulis dalam resep.
2. Berikan obat-obat yang terpengaruh oleh makanan seperti captopril, sebelum makan
3. Berikan obat-obat, seperti kalium dan aspirin, yang dapat mengiritasi perut ( mukosa lambung ) bersama-sama dengan makanan.
4. Tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan untuk pemeriksaan diagnostik, seperti endoskopi, tes darah puasa, yang merupakan kontraindikasi pemberian obat.
5. Periksa tanggal kadaluarsa. Jika telah melewati tanggalnya, buang atau kembalikan ke apotik ( tergantung peraturan ).
6. Antibiotika harus diberikan dalam selang waktu yang sama sepanjang 24 jam ( misalnya setiap 8 jam bila di resep tertulis t.i.d ) untuk menjaga kadar darah terapeutik.
Rute yang benar perlu untuk absorpsi yang tepat dan memadai. Rute yang lebih sering dari absorpsi adalah (1) oral ( melalui mulut ): cairan , suspensi ,pil , kaplet , atau kapsul . ; (2) sublingual ( di bawah lidah untuk absorpsi vena ) ; (3) topikal ( dipakai pada kulit ) ; (4) inhalasi ( semprot aerosol ) ; (5)instilasi ( pada mata , hidung , telinga , rektum atau vagina ) ; dan empat rute parenteral : intradermal , subkutan , intramuskular , dan intravena.
Implikasi dalam keperawatan termasuk :
1. Nilai kemampuan klien untuk menelan obat sebelum memberikan obat – obat per oral
2. Pergunakan teknik aseptik sewaktu memberikan obat . Teknik steril dibutuhkan dalam rute parenteral .
3. Berikan obat- obat pada tempat yang sesuai .
4. Tetaplah bersama klien sampai obat oral telah ditelan.
Dokumentasi yang benar membutuhkan tindakan segera dari seorang perawat untuk mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan . Ini meliputi nama obat , dosis , rute , waktu dan tanggal , inisial dan tanda tangan perawat . Respon klien terhadap pengobatan perlu di catat untuk beberapa macam obat seperti (1) narkotik – bagaimana efektifitasnya dalam menghilangkan rasa nyeri – atau (2) analgesik non-narkotik, (3) sedativa, (4) antiemetik (5) reaksi yang tidak diharapkan terhadap pengobatan, seperti irigasi gastrointestinal atau tanda – tanda kepekaan kulit. Penundaan dalam mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat pengobatan atau perawat lain memberikan obat itu kembali karena ia berpikir obat itu belum diberikan (Taylor, Lillis and LeMone, 1993 ; Kee and Hayes, 1996 ).
Hak – Hak Klien dalam Pemberian Obat
1. Hak Klien Mengetahui Alasan Pemberian Obat
Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah mendapatkan informasi (Informed concent) , yang berdasarkan pengetahuan individu yang diperlukan untuk membuat suatu keputusan .
2. Hak Klien untuk Menolak Pengobatan
Klien dapat menolak untuk pemberian suatu pengobatan . Adalah tanggung jawab perawat untuk menentukan , jika memungkinkan , alasan penolakan dan mengambil langkah – langkah yang perlu untuk mengusahakan agar klien mau menerima pengobatan . Jika suatu pengobatan dtolak , penolakan ini harus segera didokumentasikan. Perawat yang bertanggung jawab, perawat primer, atau dokter harus diberitahu jika pembatalan pemberian obat ini dapat membahayakan klien, seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut juga diperlukan jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium , misalnya pada pemberian insulin atau warfarin (Taylor, Lillis and LeMone, 1993 ; Kee and Hayes, 1996).
Sumber:
http://rahmanbudyono.wordpress.com/2009/07/20/sejarah-imunisasi/
http://rahajuernawati.wordpress.com/2009/02/17/sejarah-dan-perkembangan-vaksin-virus/
http://www.wonosari.com/t2764-manfaat-imunisasi-dan-jenisnya
http://mathedu-unila.blogspot.com/2010/11/jenis-jenis-vaksin.html
http://directory.umm.ac.id/Data%20Elmu/pdf/minggu_3_Vaksin_dan_Vaksinasi.pdf
0 komentar:
Posting Komentar